Bersihkan Aqidah, Hindari Takhayul

Bersihkan Aqidah, Hindari Takhayul

Oleh: KH Miftahul Akhyar

Marilah kita makin memantabkan diri kita, membulatkan tekad keyakinan kita sekaligus menyempurnakan kualitas keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Di saat dunia yang makin menunjukkan panca robanya, sebagai petunjuk makin tuanya dunia. Dan makin mundurnya pemahaman-pemahaman manusia terhadap nilai-nilai agama, jauh dari tatanan-tatanan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAw. Sehingga mungkarot, khurafat dan tahayyul sepertinya menjadi hiasan kehidupan sehari-sehari kita.

Bukankah Islam datang membawa penjelasan yang terang benderang bagaikan tiada beda antara siang dan malam! Sehingga semua memiliki tanda masing-masing. Semua itu akibat rendahnya pemahaman terhadap agama kita. Rasulullah SAW telah menyatakan Innallooha laa yaqbidhul ilman intizaa'an, wa laakin yaqbidhuhu biqobdhil 'ulamaa'(Allah tidak akan mengangkat dan menghilangkan ilmu yang telah beredar di tengah-tengah umat, tetapi Allah akan menghapus, mencabut ilmu itu dengan dipanggilnya atau diwafatkannya orang yang menguasai ilmu yakni ulama). Tetapi ulama disini adalah ulama yang benar, ulama yang telah mengisi hidupnya dengan perjuangan yang paham akan arti hidup, dan mengerti bahwa kita diciptakan adalah sebagai makhluk proyeksi akhirat. Tetapi kini kita telah memasuki masa yang pada akhirnya tinggal generasi-generasi bobrok, jauh dari pemahaman Islam yang benar.

Sahabat Abdullahbin Abbas memberikan tafsir, bahwa periode yang akan datang pasti nilainya lebih jelek, lebih jeblok dari pada tahun-tahun yang telah lewat. Ini bukan berarti tahun kemarin perekonomian lebih maju. Pertanian dan perkebunan lebih berhasil dan semua penghasilan anak bangsa meningkat. Tidak! Dan tidak pula berarti bahwa para pemimpin tahun kemarin lebih baik dari pada tahun ini. Tetapi yang dimaksud adalah hilangnya generasi-generasi terbaik bangsa, ulama-ulama pilihan, sehingga yang tersisa adalah generasi yang lemah aqidahnya, generasi-generasi yang tidak paham tentang Islam. Generasi-generasi yang hanya mengandalkan kekuatan akalnya semata, sehingga terjadilah pergeseran pergeseran nilai. Hingga yang muncul adalah penyalahgunaan, penyalahpahaman terhadap arti, dan di situlah munculnya khurafat, tahayyul kebatilan dan kemaksiatan. Mereka hanya mengandalkan kekuatan akal pikiran mereka. Semuanya diukur hanya dengan akalnya. Islam adalah syariat Allah yang tidak identik dengan akal, tetapi Islam adalah tatanan wahyu yang diturunkan oleh Allah yang dapat dipahami secara rasional. Walaupun di dalamnya banyak juga penjelasan-penjelasan ghoibiyah (abstrak) yang harus kita imani dan yakini kebenarannya. Yang semuanya telah jelas patokan dan rujukannya. Apabila ada seseorang yang menyimpang dari itu, berarti telah terjadi penyelewengan, telah terjadi pengkhurofatan dalam memahami agama.

Syikh Husian bin Adham telah menyatakan: "Di dunia ada dua keculasan/penyelewengan; penyelewengan ilmu pengetahuan, dan penyelewengan harta kekayaan". Orang-orang yang ilmunya makin bertambah, tetapi ketaqwaan dan zuhud tidak bertambah bukan berarti dia makin dekat kepada Allah, tetapi makin jauh. Gelar akademis makin bertambah, tetapi pemahaman agamanya sangat picik. Maka terjadi penyalahgunaan dan penyalahpahaman agama. Dan itu yang sangat mengkhawatirkan, sehingga muncullah pemujaan-pemujaan terhadap setan. Bahkan, kecenderungan umat sudah lebih mempercayai tukang ramal dari pada ahli agama. Seperti ketik REG (spasi) JODOH kirim ke nomor bla bla bla... hal itu begitu menjamur di media-media televisi. Sehingga mereka yang dangkal agama dan yang lemah imannya, meyakini bahwa hal itu yang mampu mengubah jalan hidup dan nasibnya. Bahkan istighotsah juga tak luput dari tunggangan semacam ini, yang semula untuk taqorrub kepada Allah, untuk pembersihan hati, tetapi justru yang muncul adalah janji-janji yang bisa membuat lengah dari tujuan utama. Seperti iklan-iklan akan kemakmuran kehidupan, jodoh, rizki dan sebagainya. Ini juga termasuk penyelewengan dalam pemahaman agama karena kepicikan dalam pemahamannya.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu kami ingatkan: Pertama untuk kembali memahami dan berjalan di atas jalan yang benar dan juga seimbang sebagaimana datangnya Islam. Yakni harus kita kembalikan esensi pemahaman kita akan makna al-ihsan sebagaimana kita definisikan "Agar hendaklah anda beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah, jika kamu tidak mampu, maka yakinlah bahwa Allah sedang mengawasimu". Artinya apa yang lazim dari semua itu anda akan selalu berjalan di atas jalan yang benar. Tidak akan melakukan hal-hal yang aneh dan nyeleneh. Melakukan semua ajaran Islam terhadap apa yang diajarkan.

Kedua, ada kelemahaman dalam memahami keimanan tentang jodoh, rizki, ajal dan lain-lain yang semua ada dalam kekuasaan Allah. Kadang memang kita mengakui semua itu, namun prilaku kita sehari-hari mengingkari hal itu. Sudah kita menghabiskan waktu untuk mencari rizki sebanyak-banyaknya, sepertinya tidak akan pernah mati. Padahal kita diingatkan harus memperbanyak ingat mati, ini bukan berarti kita terus dicekam oleh kematian, tetapi kita harus mempersiapkan bekal kematian itu.

Ketiga, pemahaman yang keliru tentang qadha dan qadar. Seseorang apabila sudah dipastikan kedudukannya, takdirnya dikehendaki oleh Allah, tetapi dia menyesali, diingat terus-menerus, bahkan dia jatuh dan tidak bangkit lagi. Ini karena kesalahpahaman dalam memahami qadha dan qadar. Kita diwajibkan berusaha, hasilnya kita serahkan kepada Allah. Kita diperintahkan melakukan 'sebab' tetapi yang menentukan 'akibat' adalah Allah. Apapun yang Allah beri harus kita terima dengan keihklasan dan keridhaan.

Keempat, hilangnya sami'na wa tho'atan pada diri kita. Al-Quran sudah menyatakan 285: Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." Ucapan "kami dengar dan kami taati" itu adalah ucapan para Nabi dan Rasul termasuk juga para auliya'. Tentu kita sebagai pengikut (umat) juga harus menghiasi bibir dan hati kita dengan kata-kata itu, asalkan itu untuk menuju kebaikan kita di dunia dan akhirat. Tanamkan sami'na wa atho'na, saya yakin ini semua akan merubah kehidupan kita dan mudah-mudahan keimanan kita semuanya diberikan nilai tambah oleh Allah SWT. Amin ya rabbal allamin.